Subscribe:

Ads 468x60px

Labels

Rabu, 21 September 2011

Cold Note

Aku benci udara ini, aku benci bau ini, bau embun yang menggigiti kulitku, memaksa masuk pada nadiku dan membawa hawa dingin hingga otakku.
 “Bodoh sekali kau! Ini siang hari”
Teriakku pada si Otak yang mulai meluncurkan pasukan pembawa sial, yach aku menyebutnya pasukan pembawa sial, karena kerjaannya menginjak-injak dataran di salah satu tanggul dihatiku, membuat pondasinya rapuh dan akhirnya jebol,  akibatnya banjir di mataku. Kepalaku mulai berdenyut-denyut tidak karuan, nada yang keluar dan terdengar di telingaku makin mengerikan.
Seperti orkestra pengiring kematian yang sering aku dengar di film-film horor.
”Aku benar-benar ingin menangis...”

Padahal  aku tak terbiasa melakukannya disiang hari, tapi aku tidak tahan dengan dinginnya.

Banyak sekali yang hilang dan pergi dariku, aku menyadarinya dan aku hanya bisa menyaksikannya, membiarkannya pergi, meninggalkan ruang-ruang kosong yang semakin  lebar, bersekutu mendirikan kota mati tersendiri di dataran hatiku. Rumah-rumah megah yang ditinggalkan penghuninya, tidak bersertifikat.

Yach mereka singgah awalnya tanpa permisi kepadaku, kemudian mengklaim petak-petak rumah dan singgasana masing-masing. Dan sekarang setelah mereka pergi, aku masih membiarkan rumah-rumah kosong itu tetap ada, tetap berdiri kokoh dan terawat. Justru aku menghiasinya dengan lukisan-lukisan indah. Lukisan tentang kebahagiaan yang pernah tercipta dimasa lalu, kehangatan yang mengalahkan selimut-selimut woll-ku, lukisan-lukisan kenangan yang membuatku rindu. Rindu pada kisah yang mulai kusam, rindu pada tawa yang mulai tidak terdengar, rindu pada kesedihan yang mulai memudar warnanya, namun tetap mengirimkan simfoni luka yang sama.

Aku tidak mau tetap berada disitu, perlahan aku melangkah menyusuri setiap cabang jalan yang ada. Petak berikutnya tidak begitu dingin, hawanya menyegarkan, aku ingat bau ini, bau kesejukan rumput dan tanah basah berembun. Ini jalan menuju menara mimpiku, disana aku pernah menggantung khayalku. Tidak setinggi langit, tapi cukup membuatku mengangkat mukaku, menengadah, dan mimpiku terpeluk awan. Kadang mimpi-mimpi itu mengepakkan sayap, melepaskan diri dari pelukan awan, menyapa bintang kemudian lenyap bersama senyum sang bulan. Dan akhir-akhir ini, mimpiku terlepas dari pelukan awan, bukan karena mimpiku mengepakkan sayap, tapi dia jatuh menghujani kota matiku, membuatku takut menengadah. Dan hari ini, aku tetap menunduk, tak berani memandang puncak menaraku, rasanya mimpi-mimpiku tidak lagi mampu mengajakku terbang menyapa bintang.
Semuanya terhenti, semua terlewati, tapi aku tidak pernah berniat mengakhiri, aku ingin menengadah menggapai mimpi-mimpiku, aku ingin terbang menyapa bintang, karena ini bumiku, ini hidupku. Bumi yang terlalu ramah pada perusaknya, hidup yang terlalu sering membebaskan kupu-kupu dimataku terbang, tanpa mencoba menahan agar tetap tinggal. Mungkin ada baiknya aku bertukar peran dengan Uranus yang acap kali meninggalkan lintasan, atau planet-planet lain yang tidak berkehidupan, karena disana sepertinya aku juga tidak akan merasakan nikmatnya sakit dan renyahnya tawa. Itu berarti, aku juga memilih tidak hidup, dan tiada.

0 comments: